Jumaat, 4 Mac 2016

usul ibadah dalam islam

Hukum Asal Suatu Ibadah Tidaklah Ada Kecuali Jika Ada Dalilnya
Kategori : Al-Ilmu : Qawaid Fiqhiyah 



اْلأَصْلُ فِي شُـرُوْطِ الْعِبَـادَاتِ الْمَنْـعُ وَالْحَظْـرُ إِلاَّ بِدَلِيْل
 Hukum asal syarat SAH suatu ibadah DILARANG/DIHALANG kecuali jika TERDAPAT DALILNYA

MUQADIMAH 

Sesungguhnya kita diperintahkan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mengerjakan ibadah-ibadah wajib maupun sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menunjukkan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Berkaitan dengan rincian ibadah, Allah Azza wa Jalla tidak memberikan kesempatan bagi akal manusia untuk menentukan dan menetapkannya. Karena akal tidak bisa berdiri sendiri untuk mengetahui mana ibadah yang diperbolehkan dan mana yang tidak. 


Yang berhak menetapkan syarat-syarat sah suatu ibadah adalah Allah Azza wa Jalla semata, baik melalui al-Qur’an maupun melalui lisan nabi-Nya. Maka seseorang tidak berhak mengaitkan keabsahan suatu ibadah dengan sesuatu hal kecuali jika ada dalil yang menjadi landasannya. Karena penentuan syarat suatu ibadah merupakan wewenang Allâh Azza wa Jalla yang telah mensyariatkan ibadah itu. Barangsiapa menentukan syarat sah suatu ibadah berdasarkan akal semata maka hakikatnya ia telah menjadikan dirinya sebagai pembuat syariat bersama Allâh Azza wa Jalla . 

Di samping itu, perlu dipahami juga bahwa tidak diperbolehkan mengaitkan suatu ibadah dengan suatu syarat yang didasarkan pada dalil lemah. Karena dalil yang lemah tidak dapat dijadikan pijakan dalam permasalahan ahkam (hukum-hukum syar’i).

MAKNA KAIDAH

Sebagaimana telah diisyaratkan dalam uraian di atas, bahwa kaidah ini menjelaskan tentang hukum asal penetapan syarat sah suatu ibadah. Di mana, keberadaan sesuatu bisa ditetapkan menjadi syarat sah suatu ibadah jika didasari dalil yang menjelaskannya.
Maka sebagaimana hukum asal suatu ibadah itu adalah terlarang, maka demikian pula syarat-syarat ibadah dan tata caranya, hukum asalnya juga terlarang, dan tidak boleh ditetapkan kecuali jika ada dalil shahih dan sharih (tegas) yang menunjukkannya.

DALIL KAEDAH INI

Kaidah ini masuk dalam keumuman larangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya dari mengada-adakan perkara baru dalam agama. Juga masuk dalam keumuman kaidah bahwa hukum asal suatu ibadah adalah dilarang kecuali jika ada dalil yang menunjukkannya. Di antara dalil yang menjelaskannya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ? [as-Syura/42:21]

[Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Maka hukum asalnya adalah dilarang bagi setiap orang untuk menetapkan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada tuntunannya dari Allâh Azza wa Jalla dan tidak pula dari rasul-Nya.”[
 Taisirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, ] 

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :


مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami maka ia tertolak.[HR. al-Bukhâri, dalam Kitab as-Shulh, no. 2697 dan Muslim dalam Kitab al-Aqdhiyah, no. 1718.



Imam Ibnu Rajab al-Hambali ketika menjelaskan ayat ini mengatakan, “Teks hadits ini menjelaskan bahwa setiap amalan yang tidak ada tuntunannya di dalam syariat, maka amalan itu tertolak. Dan secara tersirat menjelaskan bahwa setiap amalan yang dilandasi tuntunan dalam syariat, maka amalan itu tidaklah ditolak.”
[Jami’ul ‘Ulum wa al-Hikam fi Syarh Khamsin Haditsan min Jawami’ al-Kalim, Imam Zainuddin Abu al-Farj Abdurrahman bin Syihabuddin, Cet. I, Tahun 1429 H/2008 M, Dar Ibn Katsir, Beirut, Hlm. 156.
CONTOH PENERAPAN KAIDAH

Di antara contoh penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut : 

1. Sebagian Ulama’ mensyaratkan kehadiran minimal empat puluh orang untuk keabsahan shalat Jum’at. Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali.[4] Namun, jika kita cermati, ternyata tidak ada dalil yang mendasarinya kecuali dalil yang lemah. Di antaranya adalah hadits Jabir bin ‘Abdlullah Radhiyallahu anhu :


مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِيْ كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمْعَةٌ

Telah berlalu sunnah bahwa setiap empat puluh orang ke atas diwajibkan shalat Jum’at."Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan jumlah minimal jama’ah yang disyaratkan hadir untuk keabsahan shalat Jum’at. Di antara mereka ada yang berpendapat seorang saja bersama imam. Ini pendapat Imam at-Thabari rahimahullah . Ada pula yang berpendapat dua orang selain imam. Ada juga yang berpendapat tiga orang selain imam, ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah. Di antara mereka ada yang mensyaratkan kehadiran minimal 40 orang. Ini pendapat Imam as-Syafi’i rahimahullah dan Imam Ahmad rahimahullah. Ada pula yang mensyaratkan jumlah minimal 30 orang. Ada pula yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, tetapi harus lebih dari empat orang. Ini adalah pendapat Imam Mâlik (Lihat Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, al-Imam al-Qadhi Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Tanpa Tahun, Dar al-Fikr, I/115) ] 

#Hadits tersebut adalah hadits yang sangat lemah.

Demikian pula, sebagian Ulama ada mensyaratkan kehadiran sejumlah dua belas orang untuk keabsahan shalat Jum’at, sebagaimana dipegang oleh madzhab Mâliki. Pendapat ini meskipun didasari oleh dalil yang shahîh namun tidak secara tegas menunjukkan tentang penetapannya sebagai syarat.[HR. al-Baihaqi dalam al- Kubra 3/ 177. Hadits ini dha’if sebagaimana didha’ifkan oleh Syaikh al Albâni dalam Irwâ'ul Ghalîl no. 603.
Oleh karena tidak ada dalil yang mensyaratkan jumlah tertentu untuk keabsahan shalat jum’at, maka sebagian Ulama’ memandang sahnya shalat jum’at yang dihadiri oleh dua orang saja, karena dua orang sudah terhitung jama’ah. Sebagian Ulama lainnya berpendapat sahnya shalat Jum’at dengan dihadiri tiga orang, di mana satu orang berkhutbah dan dua orang lainnya mendengarkan khutbah. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t , dan ini adalah pendapat yang kuat karena menurut pendapat yang shahih di kalangan ahli ushul fiqh bahwa jumlah jama’ paling sedikit adalah tiga.
[Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa jumlah minimal jama’ah yang hadir agar shalat Jum’at itu sah adalah tiga orang. Ini juga pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan juga madzhab Hanafi. (Lihat Mudzakkirah al-Fiqh, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1428 H/2007 M, Dar al-Ghad al-Jadid, Kairo, I/230).

2. Sebagian Ulama mensyaratkan tujuh basuhan dalam membersihkan najis. Ini adalah sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah [
Lihat perselisihan Ulama dalam masalah ini dalam Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, I/62]

Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :

اِغْسِلُوْا اْلأَنْجَاسَ سَبْعًا
Cucilah najis sebanyak tujuh kali

Akan tetapi hadits tersebut tidak memiliki sanad yang shahih, bahkan sekedar disebutkan dalam kitab-kitab fiqih tanpa penyebutan sanadnya. Maka, dalam membersihkan najis tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam membasuhnya, kecuali najis jilatan anjing yang harus dibasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dengan tanah. 


Dikecualikan pula dalam istijmar untuk membersihkan najis yang keluar dari dua jalan, yang harus diusap sebanyak tiga kali. Adapun selainnya maka tidak ada ketentuan jumlah tertentu dalam membasuhnya, karena hukum asal syarat sah suatu ibadah adalah tawaqquf (membutuhkan adanya dalil), dan jika tidak ada dalil secara khusus maka asalnya dalam menbersihkan najis adalah dengan disiram dengan air sampai benda najisnya itu hilang. Dan tidak terikat dengan jumlah tertentu dalam membasuhnya.
[ Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, yaitu tidak disyaratkan jumlah basuhan tertentu dalam membersihkan najis mutawasshithah, dan yang dijadikan ukuran adalah hilangnya benda najis tersebut. (Lihat Mudzakkiratul Fiqh, I/95).

3. Sebagian Ulama mempersyaratkan ucapan tahmid, wasiat bertaqwa, shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan membaca ayat al-Qur’an untuk keabsahan khutbah Jum’at. Ini adalah penetapan syarat sah suatu ibadah, di mana hukum asal dalam hal ini adalah tawaqquf. Dan jika kita perhatikan dalil-dalil yang menjelaskan tentang masalah ini, ternyata dalil-dalil tersebut tidaklah menunjukkan makna wajib, hanya menunjukkan kepada perkara yang sunnah. Maka penetapan syarat sah tersebut merupakan suatu hal yang kurang tepat.[
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan bahwa bacaan tahmîd, wasiat bertakwa, membaca ayat al-Qur’ân, dan shalawat kepada Nabi bukanlah syarat sah shalat Jum’at. Yang disyaratkan hanyalah khutbah itu berisi mau’izhah (nasehat). (Lihat Mudzakkiratul Fiqh, I/233).] 

4. Sebagian fuqaha’ mensyaratkan terpenuhinya syarat-syarat sah shalat bagi orang yang ingin mengerjakan sujud tilâwah dan sujud syukur. Karena mereka berpendapat bahwa sujud tilâwah dan sujud syukur sama dengan shalat. Maka kita katakan bahwa hal itu merupakan penetapan syarat terhadap suatu ibadah, sehingga membutuhkan dalil yang menunjukkan hal itu. Apabila kita perhatikan dalil-dalil yang disebutkan dalam masalah ini, ternyata tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk menetapkan syarat tersebut. Bahkan disebutkan dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , di mana ia berkata :


كَانَ النَّبِيُّ يَقْرَأُ عَلَيْنَا السُّوْرَةَ فِيْهَا السَّجْدَةُ فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ حَتَّى مَا يَجِدُ أَحَدُنَا مَوْضِعَ جَبْهَتِهِ


 Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membacakan kepada kami satu surah yang di dalamnya terdapat ayat sajdah, maka beliau sujud dan kami pun ikut sujud, sampai-sampai salah seorang di antara kami tidak mendapatkan tempat untuk meletakkan keningnya [HR. al-Bukhari, dalam Kitab Sujûdil Qur’an, no. 1075. Muslim dalam Kitab al-Masâjid wa Mawâdhi’us Shalah, no. 575.] 


Dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para shahabat untuk berwudhu terlebih dahulu, sedangkan dalam kaidah dikatakan bahwa tidak boleh menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pensyaratan yang disebutkan sebagian fuqaha’ tersebut tidaklah tepat.


Demikian pula sujud syukur. Tidak ada dalil yang menjelaskan wajibnya berwudhu, menutup aurat, atau pun menghadap kiblat untuk melaksanakan sujud syukur. Maka penetapan syarat tersebut untuk sujud syukur adalah pensyaratan yang tidak didasari oleh dalil, sedangkan hukum asal syarat tersebut adalah tidak ada. Oleh karena itu lah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa tidak disyaratkan terpenuhinya syarat-syarat sah shalat untuk keabsahan sujud tilawah dan sujud syukur. Karena sujud tersebut bukanlah sholat. Namun, tidak diragukan bahwa seorang yang melakukan sujud tilawah dan sujud syukur dengan memenuhi syarat-syarat sholat adalah lebih utama dikarenakan dua alasan, yaitu dalam rangka keluar dari perselisihan ulama, dan karena hal itu lebih sempurna dalam melaksanakan ibadah.
[ Diangkat dari Talqihul Afham al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-30.] 



Wallahu a’lam.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1433H/2012.]

Ahad, 28 Februari 2016

Mengenal Agama Yang Fitrah

“Islam adalah agama yang fitrah yang pasti akan diterima oleh semua orang yang memiliki fitrah yang salimah. Artinya orang yang memiliki jiwa yang bersih sebagaimana ketika ia diciptakan pasti akan menerima ajaran-ajaran Islam dengan lapang dada.


 
Secara bahasa, fitrah artinya al khilqah yaitu keadaan asal ketika seorang manusia diciptakan oleh Allah (lihat Lisaanul Arab 5/56, Al Qamus Al Muhith 1/881). Dan ketahuilah, yang dimaksud dengan agama yang fitrah ialah Islam. Setiap manusia lahir dalam keadaan berislam, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ

“Setiap manusia yang lahir, mereka lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani ” (HR. Bukhari-Muslim)
Allah Ta’ala berfirman:

أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ 

الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar Ruum: 30)

Al Imam Ibnu Katsir, menjelaskan ayat ini: “Maksudnya adalah tegakkan wajahmu dan teruslah berpegang pada apa yang disyariatkan Allah kepadamu, yaitu berupa agama Nabi Ibrahim yang hanif, yang merupakan pedoman hidup bagimu. Yang Allah telah sempurnakan agama ini dengan puncak kesempurnaan. Dengan itu berarti engkau masih berada pada fitrahmu yang salimah (lurus dan benar). Sebagaimana ketika Allah ciptakan para makhluk dalam keadaan itu. Yaitu Allah menciptakan para makhluk dalam keaadan mengenal-Nya, mentauhidkan-Nya dan mengakui tidak ada yang berhak disembah selain Allah” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/313)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Islam adalah agama yang fitrah yang pasti akan diterima oleh semua orang yang memiliki fitrah yang salimah”. Artinya orang yang memiliki jiwa yang bersih sebagaimana ketika ia diciptakan pasti akan menerima ajaran-ajaran Islam dengan lapang dada.

Setelah kita paham bahwa sesungguhnya agama yang sesuai dengan fitrah manusia itu adalah agama Islam dan manusia sesungguhnya terlahir dalam keadaan Islam yang murni, maka kini kita perlu ketahui apa itu Islam.

Makna Islam

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

Ia juga berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” 
(QS. Al Imran: 85)

Islam artinya berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dalam ketaatan, serta berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Karena kesyirikan merupakan aqidah orang Arab sebelum berkembangnya dakwah Nabi MuhammadShallallahu’alaihi Wasallam. Imam Al Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Raja’ Al ‘Atharidi, ia berkata:

كنا نعبد الحجر فإذا وجدنا حجراً هو خير منه ألقيناه وأخذنا الآخر، فإذا لم نجد حجراً جمعنا حثوة من تراب ثم جئنا بالشاة فحلبنا عليه ثم طفنا به

“Dahulu kami menyembah batu. Apabila kami mendapatkan batu yg lebih baik, maka kami melemparkannya dan mengambil yg lain. Apabila kami tidak menemukan batu, kami kumpulkan segenggam tanah, lalu kami bawakan seekor kambing kemudian kami peraskan susu untuknya. Lalu kami thawaf dengannya”

Keadaan Manusia Sebelum Datangnya Islam

Sedangkan keadaan umat secara umum, sebelum berkembangnya dakwah Islam, telah dijelaskan oleh banyak ayat-ayat Al Qur’an, diantaranya firman Allah Ta’ala:

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah”” (QS. Yunus: 18)
Juga firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (QS. Az Zumar: 3)

Ayat-ayat yang senada dengan ini sangatlah banyak. Selain itu, hadits-hadits shahih sertasirah nabawiyyah juga menunjukkan bahwa keadaan umat manusia sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yaitu mereka melakukan berbagai macam kesyirikan yang berbeza-beza. Ada yang menyembah patung, ada yang menyembah orang mati di kuburan, ada yang menyembah matahari, bulan dan bintang, dan menyembah hal-hal yang lain. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam diutus untuk mengajak manusia menyembah kepada Allah semata, serta menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan dari nenek moyang mereka merupakan hal yang batil. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang umi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk” (QS. Al A’raf 158)

Dalam banyak ayat Allah Ta’ala juga menjelaskan bahwa orang-orang musyrik tersebut, walaupun mereka melakukan kesyirikan, mereka tetap mengakui bahwa Allah lah yang menciptakan mereka dan memberi mereka rezeki. Adapun penyembahan mereka kepada selain Allah itu menurut mereka sekedar sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebagaimana dalam ayat:

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah”” (QS. Yunus: 18)

Juga dalam ayat:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?”” (QS. Yunus: 31)

Serta banyak ayat-ayat lain yang memaparkan hal ini secara jelas.

Lalu diutuslah Sayyidina Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul terakhir dengan membawa agama Islam, tidak hanya untuk orang Arab saja bahkan untuk seluruh manusia. Beliau diutus di waktu yang tepat yaitu ketika seluruh manusia membutuhkan sosok yang bisa mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.

Rukun Islam

Agama Islam yang agung ini dibangun atas 5 asas yang disebut dengan rukun Islam, sebagaimana terdapat dalam Shahihain:

بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت

“Islam dibangun dengan lima perkata: syahadat ‘laailaha illallah wa anna muhammadar rasulullah’, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan dan pergi haji ke baitullah”

Syahadat adalah rukun Islam yang pertama dan paling utama. Kalimat syahadat dalah kalimat yang agung, dan tidak cukup dengan sekedar mengucapkannya. Walau memang, dengan mengucapkannya seseorang menjadi seorang muslim secara zhahir. Namun, ia wajib untuk menjalankan konsekuensi dari kalimat syahadat tesebut. Termasuk di dalamnya adalah mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah, mengimani bahwa hanya kepada-Nya lah semua ibadah berhak di tujukan, dan mengimani bahwa segala bentuk penyembahan kepada selain Allah adalah batil.

Rukun kedua adalah menegakkan shalat. Shalat adalah rukun Islam yang terpenting setelah syahadat. Karena ia adalah tiang agama dan hal yang akan ditanyakan pertama kali di hari kiamat. Allah Ta’ala mengancam orang yang melalaikan shalat atau mengakhirkannya dalam firman-Nya:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّ

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS. Maryam: 59)

Shalat juga dijadikan sebagai penanda untuk membedakan antara muslim dan kafir. Sebagaimana hadits yang terdapat dalam Shahihain dari Jabir Radhiallahu’anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة

“Pemisah antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah ditinggalkannya shalat”

Rukun yang ketiga adalah membayar zakat. Zakat adalah kewajiban yang merupakan tanggung-jawab sosial. Sehingga orang mu’min merasakan kemurahan dan kasih sayang Islam serta adanya semangat saling bantu membantu diantara sesama muslim. Orang yang diberi kelebihan berupa harta akan dikenai kewajiban ini. Karena harta tersebut pada hakikatnya adalah milik Allah yang dititipkan kepada manusia. Sebagaimana firman Allah:

آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” (QS. Al Hadid: 7)

Zakat diwajibkan kepada setiap orang yang memiliki harta melebihi nishab untuk masing-masing jenis harta, dan sudah mencapai haul (sudah dimiliki selama 1 tahun), kecuali biji-bijian atau buah-buahan.

Rukun yang keempat adalah puasa Ramadhan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Dengan puasa, seorang muslim dilatih untuk mengekang laju nafsunya dari kelezatan dan syahwat yang mubah selama beberapa lama. Puasa juga memiliki manfaat dari sisi kesehatan sebagaimana ia juga memberi manfaat yang bersifat ruhaniyah. Dengan puasa juga kita diajak untuk merasakan apa yang dialami saudara kita sesama muslim yang tertimpa musibah kelaparan bahkan hingga berhari-hari mereka tidak makan dan minum. Sebagaimana yang terjadi pada sebagian saudara kita di benua Afrika.

Rukun yang kelima adalah pergi haji ke Masjidil Haram. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً

“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Al Imran: 97)
Haji hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup, sebagaimana juga umrah. Ini diwajibkan bagi muslim yang berakal, baligh, merdeka dan mampu. Anak kecil juga sah bila melakukannya, namun kewajibannya belum gugur ketika ia sudah baligh dan mampu. Adapun wanita yang tidak memiliki mahram untuk menemaninya pergi haji maka gugur kewajibannya, karena banyak hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang melarang wanita bersafar tanpa mahram.

Keagungan Islam

Agama Islam memiliki kebaikan yang sangat banyak sekali hingga tidak terhitung. Bagaimana tidak, Islam adalah agama dari Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Ia adalah Dzat yang memiliki puncak kebijaksanaan dan paling benar petunjuk-Nya. Ia adalah Al Hakiim(Maha Bijaksana) dan Al Aliim (Maha Menegtahui) terhadap semua yang Ia tentukan dan putuskan serta pada semua apa yang Ia syariatkan kepada hamba-Nya. Maka, tidak ada kebaikan kecuali sudah diserukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak ada keburukan kecuali sudah diperingatkan oleh beliau. Sebagaimana hadits dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash Radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

ما بعث الله من نبي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما يعلمه لهم

“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi kecuali pasti Nabi tersebut akan membimbing umatnya pada kebaikan dengan apa yang ia ajarkan kepada umatnya, dan memperingatkan mereka terhadap keburukan dengan apa yang ia ajarkan kepada umatnya”
Juga dalam Musnad Ahmad dengan sanad yang shahih, dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

إنما بعثت لأتمم صالح الأخلاق

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan (manusia dengan) akhlak yang baik”

Sebagai penutup kami ingin menggaris bawahi bahwa di masa ini berbondong-bondong orang dari kaum musyrikin maupun ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) memeluk agama Islam ini menandakan kegagalan agama-agama lain, juga kegagalan pemikiran filsafat dalam memberikan ketenangan, kelegaan dan kebahagiaan hati manusia. Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin terlebih para da’i untuk lebih semangat berdakwah kepada ummt mengajak kepada agama Allah yang fitrah ini. Namun sebelum itu, hendaknya tidak lupa untuk mengamalkan ilmu dan akhlak Islam dengan baik, karena umat manusia sangat butuh sosok-sosok orang yang mampu mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Allah Ta’alaberfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?”” (QS. Fushilat: 33)